Minggu, 05 Oktober 2014

            KEADILAN DAN KESEJAHTERAAN 
                         by denni isdinto.S.Kep
 
Judul  bahasan  ini  mendahulukan   kata   keadilan   daripada
kesejahteraan.  Memang,  terjadi  silang pendapat mengenai apa
yang harus didahulukan, apakah  kesejahteraan  atau  keadilan?
Dari  sekian  ayat  ditemukan  isyarat  perlunya  mendahulukan
keadilan. Perhatikan misalnya surat Al-Ma-idah (5): 8,
 
   Berlaku adillah! Karena adil itu lebih dekat kepada
   takwa.
 
Lalu hubungkanlah dengan firman-Nya:
 
   Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
   bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
   berkah dari langit dan bumi. (Tetapi) mereka
   mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
   mereka disebabkan perbuatannya (QS Al-A'raf [7]: 96)
 
   Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka, "Mohonlah ampun
   kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha
   Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan lebat
   kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan
   mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula
   di dalamnya) untukmu sungai-sungai (QS Nuh [71]:
   10-12).
 
Dari rangkaian ayat  di  atas  terlihat  bahwa  keadilan  akan
mengantarkan  kepada  ketakwaan,  dan  ketakwaan  menghasilkan
kesejahteraan.  Atas   dasar   pertimbangan   tersebut,   maka
pembahasan pertama tulisan ini adalah tentang keadilan.
 
MAKNA KEADILAN
 
Keadilan  adalah  kata  jadian  dari kata "adil" yang terambil
dari  bahasa   Arab   "   'adl".   Kamus-kamus   bahasa   Arab
menginformasikan  bahwa  kata ini pada mulanya berarti "sama".
Persamaan  tersebut  sering  dikaitkan  dengan  hal-hal   yang
bersifat  imaterial.  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
"adil" diartikan: (1) tidak berat sebelah/tidak  memihak,  (2)
berpihak    kepada   kebenaran,   dan   (3)   sepatutnya/tidak
sewenang-wenang.
 
"Persamaan" yang merupakan makna asal kata "adil" itulah  yang
menjadikan  pelakunya "tidak berpihak", dan pada dasarnya pula
seorang yang adil "berpihak kepada  yang  benar"  karena  baik
yang  benar  maupun  yang  salah  sama-sama  harus  memperoleh
haknya. Dengan demikian, ia  melakukan  sesuatu  "yang  patut"
lagi "tidak sewenang-wenang".
 
Keadilan   diungkapkan   oleh   Al-Quran  antara  lain  dengan
kata-kata al-'adl, al-qisth, al-mizan,  dan  dengan  menafikan
kezaliman,  walaupun  pengertian keadilan tidak selalu menjadi
antonim kezaliman. 'Adl, yang berarti  "sama",  memberi  kesan
adanya  dua  pihak  atau  lebih; karena jika hanya satu pihak,
tidak akan terjadi "persamaan".
 
Qisth arti asalnya adalah "bagian" (yang wajar dan patut). Ini
tidak  harus  mengantarkan adanya "persamaan". Bukankah bagian
dapat saja diperoleh oleh satu pihak? Karena itu,  kata  qisth
lebih  umum  daripada  kata  'adl,  dan karena itu pula ketika
Al-Quran  menuntut  seseorang  untuk  berlaku  adil   terhadap
dirinya   sendiri,   kata   qisth  itulah  yang  digunakannya.
Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Nisa' (4): 135,
 
   Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
   al-qisth (keadilan), menjadi saksi karena Allah,
   walaupun terhadap dirimu sendiri...
 
Mizan berasal dari akar kata wazn yang berarti timbangan. Oleh
karena  itu, mizan, adalah "alat untuk menimbang". Namun dapat
pula berarti "keadilan",  karena  bahasa  seringkali  menyebut
"alat" untuk makna "hasil penggunaan alat itu".
 
KEADILAN DALAM AL-QURAN
 
Keadilan  yang  dibicarakan  dan  dituntut  oleh Al-Quran amat
beragam, tidak hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap
pihak   yang  berselisih,  melainkan  Al-Quran  juga  menuntut
keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika berucap,  menulis,
atau bersikap batin.
 
   Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
   adil walaupun terhadap kerabat...! (QS Al-An'am [6]:
   152).
 
   Dan hendaklah ada di antara kamu seorang penulis yang
   menulis dengan adil (QS Al-Baqarah [2]: 282).
 
Kehadiran  para  Rasul  ditegaskan  Al-Quran  bertujuan  untuk
menegakkan sistem kemanusiaan yang adil.
 
   Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan
   membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan
   bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar
   manusia dapat melaksanakan keadilan (QS Al-Hadid [57]:
   25).
 
Al-Quran memandang  kepemimpinan  sebagai  "perjanjian  Ilahi"
yang   melahirkan   tanggung  jawab  menentang  kezaliman  dan
menegakkan keadilan.
 
   Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
   (hai Ibrahim) pemimpin untuk seluruh manusia." Dia
   (Ibrahim) berkata, (Saya bermohon agar) termasuk juga
   keturunan-keturunanku "Allah berfirman, "Perjanjian-Ku
   ini tidak akan diterima oleh orang-orang yang zalim"
   (QS Al-Baqarah [2]: 124).
 
Demikian terlihat bahwa kepemimpinan dalam pandangan  ayat  di
atas bukan sekadar kontrak sosial, tetapi juga menjadi kontrak
atau  perjanjian  antara  Allah  dan   sang   pemimpin   untuk
menegakkan keadilan.
 
Bahkan Al-Quran menegaskan bahwa alam raya ini ditegakkan atas
dasar keadilan:
 
   Dan langit ditegakkan dan Dia menetapkan al-mizan
   (neraca kesetimbangan) (QS Al-Rahman [55]: 7)
 
Walhasil, dalam Al-Quran dapat ditemukan  pembicaraan  tentang
keadilan,   dari   tauhid   sampai   keyakinan  mengenai  hari
kebangkitan, dari nubuwwah (kenabian) hingga kepemimpinan, dan
dari  individu  hingga masyarakat. Keadilan adalah syarat bagi
terciptanya  kesempurnaan   pribadi,   standar   kesejahteraan
masyarakat,  dan  sekaligus  jalan terdekat menuju kebahagiaan
ukhrawi.
 
RAGAM MAKNA KEADILAN
 
Ketiga kata -qisth, 'adl, dan mizan- pada  berbagai  bentuknya
digunakan  oleh Al-Quran dalam konteks perintah kepada manusia
untuk berlaku adil.
 
   Katakanlah, "Tuhanku memerintahkan menjalankan
   al-qisth (keadilan)" (QS Al-A'raf [7]: 29)
   
   Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan
   berbuat ihsan (kebajikan) (QS Al-Nahl [16]: 90)
 
   Dan langit ditinggikan-Nya dan Dia meletakkan neraca
   (keadilan) agar kamu tidak melampaui batas tentang
   neraca itu (QS Al-Rahman [55]: 7-8).
 
Ketika Al-Quran menunjuk Zat Allah yang memiliki  sifat  adil,
kata yang digunakanNya hanya Al-qisth (QS Ali 'Imran [31: 18).
 
Kata  'adl  yang  dalam  berbagai  bentuk  terulang  dua puluh
delapan kali dalam Al-Quran, tidak satu pun  yang  dinisbatkan
kepada   Allah   menjadi  sifat-Nya.  Di  sisi  lain,  seperti
dikemukakan di atas, beragam aspek dan  objek  keadilan  telah
dibicarakan  oleh  Al-Quran; pelakunya pun demikian. Keragaman
tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.
 
Paling tidak ada empat makna keadilan  yang  dikemukakan  oleh
para pakar agama.
 
Pertama, adil dalam arti "sama"
 
Anda  dapat  berkata  bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia  memperlakukan  sama  atau  tidak  membedakan
seseorang  dengan  yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud  adalah  persamaan  dalam  hak.  Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa,
 
   Apabila kamu memutuskan perkara di antara manusia,
   maka hendaklah engkau memutuskannya dengan adil...
 
Kata "adil" dalam  ayat  ini  -bila  diartikan  "sama"-  hanya
mencakup   sikap   dan   perlakuan   hakim  pada  saat  proses
pengambilan keputusan.
 
Ayat ini menuntun sang  hakim  untuk  menempatkan  pihak-pihak
yang  bersengketa  di  dalam  posisi yang sama, misalnya ihwal
tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau  tanpa  embel-embel
penghormatan),  keceriaan wajah, kesungguhan mendengarkan, dan
memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya yang  termasuk  dalam
proses   pengambilan  keputusan.  Apabila  persamaan  dimaksud
mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka  terima  dari
keputusan,  maka  ketika  itu persamaan tersebut menjadi wujud
nyata kezaliman.
 
Al-Quran mengisahkan dua orang berperkara yang  datang  kepada
Nabi  Daud a.s. untuk mencari keadilan. Orang pertama memiliki
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina,  sedangkan  orang
kedua  hanya  memiliki  seekor.  Pemilik  kambing  yang banyak
mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap  seratus.
Nabi   Daud   tidak  memutuskan  perkara  ini  dengan  membagi
kambing-kambing  itu  dengan  jumlah  yang   sama,   melainkan
menyatakan  bahwa  pemilik sembilan puluh sembilan kambing itu
telah berlaku aniaya atas permintaannya  itu  (QS  Shad  [38]:
23).
 
Kedua, adil dalam arti "seimbang"
 
Keseimbangan  ditemukan  pada  suatu kelompok yang di dalamnya
terdapat beragam bagian  yang  menuju  satu  tujuan  tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok  itu  dapat  bertahan
dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya.
 
   Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat
   durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah? Yang
   menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu, dan
   mengadilkan kamu (menjadikan susunan tubuhmu seimbang)
   (QS Al-Infithar [82]: 6-7).
 
Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih  atau
berkurang  dari  kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti
tidak akan terjadi kesetimbangan (keadilan).
 
Contoh lain tentang  keseimbangan  adalah  alam  raya  bersama
ekosistemnya. Al-Quran menyatakan bahwa,
 
   (Allah) Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.
   Kamu sama sekali tidak melihat pada ciptaan Yang Maha
   Pemurah itu sesuatu yang tidak seimbang. Amatilah
   berulang-ulang! Adakah kamu melihat sesuatu yang tidak
   seimbang? (QS Al-Mulk [67]: 3)
 
Di    sini,     keadilan     identik     dengan     kesesuaian
(keproporsionalan),   bukan   lawan  kata  "kezaliman".  Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan  kadar
dan  syarat  bagi  semua  bagian unit agar seimbang. Bisa saja
satu bagian berukuran kecil atau besar,  sedangkan  kecil  dan
besarnya ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.
 
Petunjuk-petunjuk  Al-Quran  yang  membedakan satu dengan yang
lain, seperti pembedaan lelaki dan perempuan pada beberapa hak
waris  dan  persaksian  -apabila  ditinjau  dari sudut pandang
keadilan-  harus  dipahami  dalam  arti  keseimbangan,   bukan
persamaan.
 
Keadilan  dalam  pengertian  ini  menimbulkan  keyakinan bahwa
Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui  menciptakan  dan
mengelola  segala  sesuatu  dengan  ukuran,  kadar,  dan waktu
tertentu  guna  mencapai  tujuan.   Keyakinan   ini   nantinya
mengantarkan kepada pengertian Keadilan Ilahi.
 
   Matahari dan bulan beredar dengan perhitungan yang
   amat teliti (QS Al-Rahman [55]: 5).
   
   Sesungguhuga Kami menciptakan segala sesuatu menurut
   ukurannya (QS Al-Qamar [54]: 49)
 
Ketiga, adil adalah "perhatian terhadap hak-hak  individu  dan
memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"
 
Pengertian   inilah  yang  didefinisikan  dengan  "menempatkan
sesuatu  pada  tempatnya"  atau  "memberi  pihak  lain  haknya
melalui  jalan  yang  terdekat".  Lawannya adalah "kezaliman",
dalam arti pelanggaran terhadap  hak-hak  pihak  lain.  Dengan
demikian menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri
adalah  lawannya.  Sungguh  merusak  permainan  (catur),  jika
menempatkan  gajah  di  tempat raja, demikian ungkapan seorang
sastrawan yang arif.
 
Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan sosial.
 
Keempat, adil yang dinisbatkan kepada Ilahi
 
Adil di sini berarti "memelihara kewajaran  atas  berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu."
 
Semua wujud tidak memiliki hak atas Allah. Keadilan Ilahi pada
dasarnya   merupakan   rahmat  dan  kebaikan-Nya.  KeadilanNya
mengandung konsekuensi bahwa rahmat A h  Swt.  tidak  tertahan
untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
 
Sering  dinyatakan  bahwa  ketika A mengambil hak dari B, maka
pada saat itu juga B mengambil hak dari A.  Kaidah  ini  tidak
berlaku  untuk  Allah Swt., karena Dia memiliki hak atas semua
yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki  sesuatu  di
sisi-Nya.
 
Dalam  pengertian  inilah  harus dipahami kandungan firman-Nya
yang menunjukkan Allah  Swt.  sebagai  qaiman  bilqisth  (yang
menegakkan  keadilan)  (QS Ali 'Imram [3]: 18), atau ayat lain
yang mengandung arti keadilan-Nya seperti:
 
   Dan Tuhanmu tidak berlaku aniaya kepada hamba-hambaNya
   (QS Fushshilat [41]: 46).
 
KEADILAN MENCAKUP SEMUA HAL
 
Seperti dikemukakan di atas, Allah menciptakan  dan  mengelola
alam  raya  ini  dengan  keadilan,  dan menuntut agar keadilan
mencakup semua aspek kehidupan. Akidah,  syariat  atau  hukum,
akhlak, bahkan cinta dan benci.
 
   Dan Kamu pasti tidak akan dapat berlaku adil di antara
   wanita-wanita (istri-istrimu dalam hal cinta),
   walaupun kamu berusaha keras ingin berbuat demikian.
   Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
   yang kamu cintai), dan membiarkan yang lain
   terkatung-katung (QS Al-Nisa' [4]: 129).
   
   Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
   keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun
   terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kerabatmu.
   Jika ia (yang tergugat atau terdakwa) kaya atau
   miskin, maka Allah lebih utama dari keduanya... (QS
   Al-Nisa' [14]: 135)
   
   Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu
   kelompok menjadikan kamu tidak berlaku adil (QS
   Al-Ma-idah  [5]: 8)
 
Kebencian  tidak   pernah   dapat   dijadikan   alasan   untuk
mengorbankan  keadilan,  walaupun kebencian itu tertuju kepada
kaum non-Muslim, atau didorong oleh upaya memperoleh ridhaNya.
Itu sebabnya Rasul Saw. mewanti-wanti agar,
 
   Berhati-hatilah terhadap doa (orang) yang teraninya,
   walaupun dia kafir, karena tidak ada pemisah antara
   doanya dengan Tuhan.
   
   Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
   "tuqsithu" (berlaku adil) terhadap orang-orang (kafir)
   yang tidak menerangimu karena agama, dan tidak
   mengusirmu dari negerimu atau membantu orang lain
   untuk mengusir kamu... (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar